LATAR BELAKANG
Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang kondisi Tanah Air Indonesia yang terdiri beribu – ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi Desa sebagai unsur Pemerintah terdepan. Struktur Pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan Desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri, sejahtrera dan demokratis maka menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan terhormat dalam percaturan bangsa – bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi “Upeti“ pada Pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi pemerintahan desa telah punah.
Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat ( setiap departemen ) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di ddesa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.
Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi.
Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan menjadi rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
PERMASALAHAN
1. Sampai saat ini belum ada konsep/model pembangunan desa yang dapat menjadi solusi secara optimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa.
2. Pembangunan desa yang dilaksanakan bersifat sektoral, yang hanya akan memberikan solusi secara parsial juga dan dengan waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada jaminan kelangsungan program tersebut.
3. Sumberdaya manusia di desa, baik aparat maupun masyarakatnya memberikan kontribusi besar terhadap melambatnya berbagai upaya pelaksanaan pembangunan desa itu sendiri.
4. Keterbatasan sumber pendanaan, baik dari desa maupun dari Kabupaten, Provinsi dan Nasional, merupakan faktor utama lain yang menyebabkan lambatnya proses pembangunan desa. Disisi lain Anggaran yang disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari Kbupaten, Provinsi maupun dari Nasional, cenderung bersifat project, bahkan charity, bersifat sesaat dan berdampak pada golongan tertentu saja di desa.
5. Perencanaan yang disusun, walaupun telah melalui suatu proses yang panjang, yaitu dari Musrenbang, Musrenbangda, (Kabupaten dan Provinsi) serta Musrenbangnas, tetap tidak menujukan suatu streamline yang jelas serta tidak menujukan keterpaduan program (commited programme). Bahkan pada kebanyakan kasus perencanaan, usulan dari desa sejak di awal diskusi pada Musrenbangcam telah terelementasi.
6. Sudut pandang dari semua pihak terhadap upaya pembangunan desa masih seperti dulu, yaitu menempatkan desa sebagai suatu objek dengan klasifikasi rendah, sehingga tidak menjadi prioritas dan bersifat seperlunya saja, sehingga dengan memformulasikan suatu program yang bersifat charity, dianggap telah memberikan sesuatu manfaat yang sangat besar.
7. Belum terlihat adanya suatu pemahaman yang menunjukan bahwa desa sebagai sumber utama pembangunan Nasional, sehingga desa patut menjadi sasaran utama pembangunan dan harus ditempatkan sebagai partner utama dalam sistem pembangunan Nasional.
8. Persoalan ketidak jelasan kewenangan yang ada di Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan terdapatnya berbagai kesulitan dalam menyusun dan mengimplementasi kebijakan Pemerintah Provinsi terhadap upaya Pembangunan desa.
ANALISIS
Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional Mosher (1969:91) menyebutkan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi Nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk, Menurut Fellman & Getis (2003:357), pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara, sehingga berguna dalam produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam tingkat produksi barang ( materi) dan konsumsi.
Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin (Jayadinata & Pramandika, 2006: 1), Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual
Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang.
Disisi lain, baik dalam Musyawarah perencanaan pembangunan ( Musrenbang), musyawarah perenacanaan pembangunan daerah ( Musrenbangda), dan musyawarah perencanaan pembanguan kecamatan ( Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elite di daerah, Dengan demikian, ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun tidak maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing level (elite birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Otonomi daerah yang berada di Kabupaten/Kota juga menyebabkan peran pemerintah Provinsi menjadi tidak maksimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Barat, Dalam hierarki perundang undangan, peran pemerintah Provinsi hanya sebatas memberikan saran dan konsultasi kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan ketiadaan akses yang lebih bagi pemerintah Provinsi untuk dapat mengimplementasikan program program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di desa.
Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap ke khasan daerah dan cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan)
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa tidak optimal, Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa hanya menggantungkan (depen on) pada bantuan atau program dari pemerintah pusat, Provinsi Kabupaten dan Kota. selain itu, kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata. Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang.
Secara umum, berdasarkan peraturan perundang undangan, sebenarnya desa dapat membangun daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri dari kepala desa dan perangkatnya serta badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai legislatif Desa, Di sisi lain, sumber pembiayaan bagi pembangunan desa yang dapat diambil berdasar perundang undangan yaitu dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota, dari penghasilan desa yang syah (BUMdes), serta kerjasama dengan pihak ketiga.
Dengan mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa seharusnya bersifat bottom up. Akan tetapi selama ini, baik perencanaan maupun implementasi pembangunan desa selalu bersifat top down, dimana desa hanya menerima program program pembangunan desa dari pemerintah. Berdasarkan mekanisme perundang undangan yang ada, seharusnya desa memiliki grand design pembangunan sendiri (inisiatif desa), jika desa memiliki grand design dalam pembangunan desanya, maka desa dimungkinkan hanya akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota. sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan pembangunan (Program program) datang dari inisiatif desa sendiri.
Lebih lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh desa kepada pemerintah, terdapat klasifikasi program pembangunan desa, misalnya untuk pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa dimungkinkan untuk mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, misalnya untuk membangun sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya, Disisi lain, desa dimungkinkan juga untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama dengan pihak ketiga, misalnya terkait dengan kondisi tanah atau lahan yang tandus dan tidak bisa dikembangkan. Hingga, semua pengajuan program pembangunan desa muncul dari inisiatif desa berdasarkan pada kondisi eksisting dan tata ruang desa, Berdasarkan perundang hal tersebut dapat dilakukan oleh desa, namun sejauh ini berbagai program pembangunan desa selalu ditentukan oleh pemerintah (top down) dan desa hanya melaksanakannya saja, Maka permasalahan yang kemudian timbul adalah, apakah perangkat desanya tidak mengerti ataukah pemerintah yang tidak pernah mengerti akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan programnya sendiri.
Dengan demikian, pemerintah (baik pusat, provinsi, kabupaten/ kota) seharusnya hanya mendorong dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mampu merencanakan pembangunan desanya, sehingga pemerintah pusat hanya melakukan pembiayaan berbagai program pembangunan yang di ajukan oleh desa, Selama ini permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri tidak memiliki konsep dalam merancang pembangunan desa dan pemerintah juga tidak memahami akan eksistensi pembangunan desa berdasarkan keunikan dan kekhasan desa dengan memaksakan berbagai programnya.
Secara umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah mencapai tahap kejenuhan, Untuk mengatasi persoalan kemiskinan, upaya yang perlu dilakukan tidak lagi semata mata mengandalkan pada kebijakan ekonomi makro, tetapi juga diimbangi dengan kebijakan mikro berupa terobosan yang secara langsung memberikan pengaruh pada peningkatan produktivitas golongan miskin tersebut, utamanya dengan peningkatan pembangunan desa yang terintegrasi (Tjiptoherijanto, 1997: 57).
Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu, Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
STRATEGI
Mencermati uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu penelitian yang resmi, hanya berbekal pengalaman ( experient base) dan pendekatan literatur, dapat dirumuskan suatu strategi upaya pembangunan desa dalam rangka pengentasan kemiskinan, Sebagai berikut :
1. Penyusunan tata ruang desa menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya pembangunan desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai potensi yang ada, keunikan, kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin dicapai, sehingga wujud desa nantinya menjadi khas, seperti desa wisata, desa tambang, desa kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa industri, desa tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata ruang tersebut, harus tersusun rencana infrastruktur, site plan untuk office, pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis sentra(satu hamparan), kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk maksimal), lokasi pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun alun, taman) dan sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
2. Penetapan aktivitas dan komoditi yang akan dijadikan basis pengembangan ekonomi desa, didasarkan analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya, potensi pasar, minat dan kultur masyarakat.
3. Pembentukan lembaga lembaga masyarakat yang akan berperan sebagai stakeholders, dan akan memberikan berbagai masukan dalam proses pembangunan desa.
4. Perumusan perencanaan pembangunan untuk satu masa jabatan Kepala Desa, serta program pembangunan setiap tahunnya. Perumusan harus melibatkan harus melibatkan seluruh komponen di desa, didasarkan kepada tata ruang yang telah disusun serta didasarkan kepada kewajaran dan ketersediaan anggaran.
5. Pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota dapat memberikan asistensi, masukan sesuai dengan kebijakan, misi dan visi terhadap dokumen perencanaan yang disusun, serta memberikan dukungan berupa pengalokasiandana dalam bentuk tugas pembantuan atau bantuan yang diarahkan (specific grand ), Dengan demikian tidak ada lagi program charity, baik dari Kabupaten / Kota, Provinsi maupun dari pusat. Seluruh aktivitas pembangunan di desa sudah terintegrasi programnya (commited program ) dan sudah terintegrasi juga alokasi anggarannya (commited budget).
6. Untuk pembangunan pendidikan, terutama dalam menuntaskan program wajardikdas sembilan tahun, di desa perlu di bangun sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama dalam satu lokasi, ini dilakukan untuk mengefisiesikan biaya pembangunan dan pemeliharaan sekolah, juga untuk meringankan beban orang tua murid yang besar, yaitu komponen transport.
7. Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan di desa perlu dibangun Puskesmas Pembantu atau sejenis, dan untuk desa yang sangat terpencil dapat didukung dengan Unit Pelayanan Kesehatan Keliling.
8. Untuk pembangunan perekonomian di desa, dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas terpilih, sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota, penguatan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), penyiapan masyarakat dan lokasi sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai kerjasama dengan pihak ketiga, penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal, pasar, koperasi, atau sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta pembentukan lembaga fasilitator, baik dari masyarakat Desa itu sendiri atau dari luar dan dari Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
9. Untuk meningkatkan SDM aparat desa dilakukan dengan meningkatkan program dan kegiatan yang telah berjalan melalui program pusat, provinsi dan kabupaten / kota, efektivitas program lomba desa dan peningkatan program Non Governtment (NGO).
KESIMPULAN
1. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi oleh cara pandang level pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten / kota.
2. Pembangunan Desa pada hakekatnya merupakan pengakuan dan penghargaan dari semua pihak terhadap pemerintahan dan masyarakat desa dalam upayanya mencapai harapan dengan potensi, dan kekhasannya sendiri sehingga desa seyogyanya menjadi prioritas utama pembangunan dari semua level pemerintahan.
3. Keberhasilan pembangunan desa akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan pembangunan secara nasional, provinsional dan kabupaten / kota.
4. Persoalan kemiskinan, baik diperkotaan maupun di pedesaan akan tereliminasi secara signifikan, apabila tercapai pembangunan di desa desa.
5. Konsep Desa Mandiri, Dinamis dan Sejahtera, merupakan konsep integrasi perencanaan dan implementasi, dikenal dengan commited programme dan commited budget, merupakan konsep yang dilakukan secara gradual, terarah dan pasti, serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang akan beraktivitas di desa.
6. Keberhasilan konsep ini sangat tergantung kepada political will para pengambilan kebijakan dan peran serta seluruh pemangku kepentingan.